Kembang Api dan Tahun Baru: Kisah Imigran China Populer Mercon di Nusantara
SEAToday.com, Jakarta - Tiap orang punya memorinya masing-masing dalam menikmati sajian pesta tahun baru. Ada yang memaknainya dengan tawa hingga harapan. Lebih dari itu, tahun baru kemudian membawa banyak keceriaan.
Hasilnya segala macam perayaan tahun baru jadi hal yang paling sulit dilupakan. Salah satu pengalaman yang spesial yang sulit dilupakan adalah pesta kembang apinya. Pertanyaan pun muncul. Kapan kembang api sebenarnya masuk Nusantara? Begini ceritanya.
Orang China dan kembang api adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya dianggap pelopor dalam mengenalkan kembang api sebagai ajian ritual dan perayaan. Kembang api mulanya dipahami telah muncul sedari masa sebelum masehi.
“Kebanyakan ahli sepakat bahwa China dan India mungkin merupakan lokasi awal kemunculan kembang api. Baik kembang api pertama kali digunakan untuk hiburan atau peperangan, kembang api telah ada selama beberapa ribu tahun, dan penggunaannya telah lama dikaitkan dengan perayaan,” ujar Muriel Jacobs dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Antiques; The Long History of Fireworks, 30 Juni 1985.
Alkisah, kembang api bermula dari masyarakat daerah Liyuan, China. Mereka mempunyai hajatan spesial dalam mengusir roh jahat. Hajatan itu dimulai dengan melempakan batang bambu ke dalam api. Letupan-letupan dari batang bambu terbakar menarik perhatian.
Tradisi itu berlangsung turun temurun. Namun, orang China secara tak sengaja terus mengembangkan kembang api. Mereka mulai mencoba bereksperimen dengan arang, belerang, hingga kalium. Eksperimen itu menghasilkan bubuk mesiu.
Nubuk mesiu dikemas sedemikian rupa lalu dilempar ke api. Peruntukannya masih sama untuk mengusir roh jahat. Kembang api berkembang pesat. Penggunaannya tak lagi seputar mengusir roh belaka. Kembang api jadi penyemarak dalam setiap hajatan penting di China, dari Imlek hingga perayaan tahun baru masehi.
Kembang Api Masuk Nusantara
Popularitas kembang api mulai hadir di berbagai negara di dunia. Wujud kehadiran itu tentu saja muncul dari kegiatan perdagangan dan diplomasi antar negara dengan China. Bumi Nusantara sendiri tak luput dari penyebaran kembang api.
Pintu masuk kembang api di Nusantara muncul di era penjajahan Belanda, atau tepatnya di era kongsi dagang Belanda, VOC pada abad ke-17. Kompeni merasa penting membuat suatu negeri koloni di Nusantara. Pilihan pun jatuh kepada Jayakarta yang mereka ubah jadi Kota Batavia (kini: Kota Jakarta) sedari 1619.
Kompeni pun mulai membangun kota impiannya. Namun, mereka tak bisa mengandalkan orang Eropa sepenuhnya. Kerja-kerja berat tak bisa dilakukan orang Eropa –fisiknya tak cocok dengan iklim tropis-- karena perbedaan iklim antara Eropa dan Asia.
Jan Pieterszoon Coen muncul dengan solusi. Gubernur Jenderal VOC era 1618-1623 dan 1627-1629 itu mulai mendambakan kehadiran orang China di Batavia. Coen beranggapan kehadiran imigran China akan bawa banyak manfaat.
“Siapapun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda, harus bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa, karena mereka bangsa yang ulet, rajin, dan suka bekerja. Tak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya selain daripada orang Tionghoa,” ujar Jan Pieterszoon Coen ditulis Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003).
Visi Coen benar adanya. Orang China jadi elemen penting dari kota Batavia. Mereka menguasai hampir seluruh roda ekonomi di Batavia. Pajak orang China mampu digunakan untuk mempercantik Batavia. Sebagai bentuk apresiasi, Kompeni mengistimewakan orang China.
Mereka diberikan izin untuk menggelar segala macam pesta, dari ritual hingga perayaan penting. Bahkan, hal-hal itu bisa dilakukan tanpa harus meminta izin. Kondisi itu membuat budaya China, utamanya kembang api masuk dan menyebar ke seantero Nusantara.
Kembang Api Tahun Baru
Kehadiran orang China di Batavia bawa pengaruh besar. Perayaan pesta ala orang China dengan kembang api jadi paling diingat. Apalagi, kala mulai memasuki momentum pergantian tahun. Momentum itu kerap memancing perhatian seisi kota.
Momentum pesta kembang api biasa disertakan sebagai rangkaian pertunjukkan inti. Biasanya acara itu dihadirkan dengan ragam pertunjukkan entah sandiwara China atau arak-arakan boneka raksasa. Pesta kembang api dilakukan di banyak titik di Batavia.
Pesta itu digelar dengan gegap gempita. Kondisi itu membuat memori terkait perayaan tahun baru terus berdiam dalam sanubari. Alhasil, pandangan bahwa kembang api tak bisa dipisahkan dari momentum pergantian tahun benar adanya.
“Puncak pertunjukan kembang api ini semacam letusan gunung berani yang menyembur tinggi sekali ke angkasa, lalu jatuh berupa matahari, bulan bintang, komet, dan meteor besar-kecil. tampaknya seperti hujan cahaya. Kesemuanya disertai letusan-letusan dan gema yang menggetar,” ujar Junus Nur Arif mengungkap kisah perjalanan duta Inggris untuk China ke Batavia pada 1793, Lord George Macartney dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo dulu (1987).
Pesta kembang api dari orang China terus berkembang. Bisnis pembuatan kembang api terus laris manis. Apalagi, kembang api bisa sewaktu-waktu dimainkan kala ada wabah penyakit. Narasi itu hadir karena banyak yang menganggap kembang api adalah ajian menolak bala. Alias cara mengusir roh jahat.
Pesta kembang api pun tak bisa diganggu gugat. Pemerintah VOC hingga kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda tak berani mengganggu kesenangan orang China. Barang siapa yang mengganggu atau melarang membunyikan kembang api, niscaya akan dilawan.
Pesta kembang api pun tak melulu dihadirkan pada tahun baru saja. Kaum bumiputra pun mengadopsinya untuk memperingati hajatan lainnya. Kembang api pun jadi identik sebagai pelengkap kala menyambut hadirnya bulan suci Ramadan.
Kembang api juga jadi andalan bagi pemerintah kolonial kala melakukan pesta besar-besaran. Misalnya, ada penobatan atau ulang tahun ratu Belanda. Belakangan pesta kembang api mulai digunakan di seantero dunia untuk jadi bagian penting pesta pergantian tahun.
Recommended Article
State Owned Enterprise
Top 10 SOEs on 2024 Fortune Southeast Asia 500, Telkom Indonesia...
A total of 20 state-owned enterprises (SOEs) are listed in the Fortune Southeast Asia 500 2024. Indonesia’s largest telecommunications company Telkom Indonesia (@telkomindonesia) was also included in the top 10 list
SOEs Ministry Tries Out Four Days in Workweek System
The State-Owned Enterprises (SOEs) Ministry is testing the implementation of a four-day workweek. This was shared on Instagram @lifeatkbumn on Saturday (6/8).
ESG
AMAN Plants 10,000 Mangroves for Net Zero Goal on World Environme...
In celebration of World Environment Day, held annually on June 5th, Indonesia received a special gift from AMAN Volunteers.
5 Simple Steps for Sustainable Lifestyle
Five practical ways to embark on a sustainable lifestyle.
Practical Tips for Household Waste
Sorting household waste is an essential step towards reducing waste generation and promoting environmental sustainability.
Understanding Non-Organic Waste
Non-organic waste refers to discarded materials that are difficult to decompose.
Popular Post
Top 10 SOEs on 2024 Fortune Southeast Asia 500, Telkom Indonesia...
A total of 20 state-owned enterprises (SOEs) are listed in the Fortune Southeast Asia 500 2024. Indonesia’s largest telecommunications company Telkom Indonesia (@telkomindonesia) was also included in the top 10 list
Trade Ministry Ready to Support Freeport’s Second Smelter in Gres...
The Trade Ministry is ready to support PT Freeport Indonesia (PTFI) ahead of the operation of its second smelter in Gresik, East Java.
Minister Airlangga: VAT to Increase to 12 Pct. Starting 2025
Minister Airlangga said VAT to Increase to 12 Pct. Starting 2025